Kenapa Banyak Orang Gampang Termakan Hoaks? -->

Kenapa Banyak Orang Gampang Termakan Hoaks?

Akhir-akhir ini berita hoaks semakin bertebaran, terutama lewat media sosial. Orang jadi gampang percaya sama berita yang bahkan hanya sekali dilihat dan dibacanya. Dan tanpa mengonfirmasi kebenaran berita itu, kebanyakan langsung menyebarkannya ke orang lain, termasuk di grup WhatsApp keluarga. Siapa yang sering banget dapet berita hoaks dari grup WhatsApp keluarga? Coba angkat tangan! Hehehe...


Kenapa banyak orang gampang termakan hoaks?

Kenapa kita mudah termakan hoaks?
Source: Pixabay.com


1. Cenderung menggunakan otak emosi

Disampaikan oleh dr. Ryu Hasan, kehidupan manusia 98% lebih dikendalikan oleh otak emosi daripada otak rasional. Perkembangan evolusi otak kita bukan mempertimbangkan mana yang benar mana yang salah, tapi mana yang bisa memberikan peluang untuk bertahan hidup.

Zaman nenek moyang kita dulu juga begitu. Mereka percaya dengan ahli nujum, untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Seiring waktu, otak rasional mulai berkembang. Jadi, sebenarnya rasionalitas itu bisa dilatih, karena manusia punya bakat untuk menjadi rasional.

Kalau pengin dengerin versi lengkapnya ada di bawah ini,


2. Kurang Skeptis

Kebanyakan orang kurang skeptis dan cenderung menerima berita gitu aja tanpa double-checkingMalah kadang cuman baca judul beritanya aja. Padahal, judul berita itu sering banget dibikin yang bombastis (clickbait) supaya ada traffic ke media online itu.

Istilahnya false connection, yaitu ketika headlinesvisuals, atau captions nggak mendukung konten. Alias nggak selaras dengan konten atau isi berita.


3. Cenderung memilih berita yang sejalan dengan pemikiran kita

confirmation bias
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Kita tuh kadang suka kurang kritis sama informasi that supports our existing beliefs. Milih berita yang sejalan sama pemikiran kita aja gitu. Dan emang sebenarnya manusia itu cenderung percaya sama apa yang pengin dipercayainya.

Kalau di critical thinking itu namanya confirmation bias. Jadi, kita punya tendensi buat nggak menghiraukan informasi yang bersifat kontradiktif sama apa yang kita yakini. Dengan kata lain, kita terlalu fokus sama informasi yang mendukung opini kita.


4. Informasi yang beredar terlalu banyak

Kenapa banyak orang termakan hoaks
Photo by energepic.com from Pexels

Terlalu banyak informasi yang beredar, yang bikin otak kita capek. Akhirnya yaudah gampang terpengaruh aja gitu.

Nggak cuman di Indonesia, di luar negeri pun banyak hoaks bertebaran. Ada satu organisasi non-profit, namanya First Draft, mengklasifikasikan setidaknya ada 7 mis- dan disinformasi yang marak beredar di masyarakat. Apa aja? Satire atau parody, misleading content, imposter content, fabricated content, false connection, false context, dan manipulated content.


5. Belum bisa membedakan antara parodi dan berita asli

tiktok sindrom
Image by Gerd Altmann from Pixabay

Masih berhubungan sama jenis-jenis hoaks di atas, banyak orang yang masih belum bisa membedakan satire atau parody sama berita yang benar. Contohnya kemarin kan rame banget gegara ada satu orang yang bikin video kalau dia terkena Tiktok syndrome. Terus, badan dan tangannya suka tiba-tiba gerak sendiri karena sering tiktokan.

Orang-orang udah pada heboh aja nyebarin di media sosialnya masing-masing. Padahal itu satire 😓😆



What Can We Do?

1. Kalau dapet video atau berita, coba nanya dulu ke diri sendiri "ini bener ga nih?"

2. Jangan terima berita mentah-mentah. Cari sumber yang kredibel. Double-checking ke beberapa media online. Terus, coba cari di website resmi yang berkaitan sama berita itu.

Contoh: Ada foto headline yang isinya pernyataan menteri agama yang memperbolehkan tarawih dan beribadah di masjid. Lah, padahal kita tau kemarin itu MUI udah bilang kalau ibadah di rumah aja. Bertanya-tanya dong pastinya diri ini.

Nah, karena ini berkaitan sama keagamaan, coba cek di website Kemenag. "Emang bener ya ada pernyataan gitu?" Karena di website pasti ada laman khusus berita, termasuk konfirmasi berita itu hoaks atau nggak.

3. Jangan baca judul aja. Tapi, keseluruhan isi berita.

4. Terus kalau ada yang nampilin foto, coba deh cari di google itu foto asli nggak, tahun kapan itu foto ada, dan lain-lain.

Kejadian nih kemarin. Beredar foto seolah-olah di Cina orang-orang pada sholat jamaah ramai banget pas covid19 lagi gawat-gawatnya. Akhirnya foto itu dijadikan pembenaran oleh sebagian orang untuk mengabaikan physical distancing. "Halah, di sana aja berbondong-bondong shalat berjamaah, malah di negeri sendiri dilarang. PKI! 😦

5. Coba lihat atau cari-cari informasi di website MAFINDO. Atau kalau di instagram tuh di @turnbackhoaxid atau @tempo.cekfakta.




Menurut gue, kita semua berperan untuk menangkal berita-berita hoaks ini. Jangan lupa saring sebelum sharing, ya!

Every time we passively accept information without double-checking, or share a post, image, or video before we've verified it, we're adding to the noise and confusion. The ecosystem is now so polluted, we have to take responsibility for independently checking what we see online - Claire Wardle, First Draft.

4 Comments

  1. Bagus cik, pemikiran seperti ini yg layak disebar luaskan hehe sukses ya blog nya.

    ReplyDelete
  2. Penyaringan berita hoax ini padahal berpengaruh juga untuk kematangan critical thinking kita, tapi ternyata memang masih banyak orang yg gampang kemakan berita hoax. Poin nomor satu paling setuju sih mba, otak kita seringkali dipenuhi oleh emosional daripada rasional. Soalnya kan kebukti misalnya gara2 lagi ada rame tentang isu tertentu, pas ada berita2 clickbait orang langsung share tanpa baca seluruh isinya karena merasa udah langsung relate sama masalah yg terjadi dan nyambung sama opini dia🤦🏻‍♀️
    Anyways salam kenal ya mba!😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul. Sama satu lagi sih. Kayaknya orang sekarang-sekarang ini pada pengin jadi yang pertama buat menyebarkan info, entah benar atau nggak. Pokoknya bagiin aja dulu, bener atau nggaknya belakangan.. Haha

      Makasih juga udah mampir!😁

      Delete

About | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer | Sitemap