[Review Buku] Malang Untold Story by Windy Joana H. & Tenderlova -->

[Review Buku] Malang Untold Story by Windy Joana H. & Tenderlova

Mahendra, Sejauh dan Setinggi Apa 
Dia Bisa Digapai?

Hi yorobundeul... How's life? semoga sehat-sehat ya semuanya...
By the way, gue hari ini mau nge-review buku lagi nih! Buku yang gue pilih ini merupakan secret project collaboration dari Windy Joana H dan Tenderlova. 

Long story short, mereka berdua adalah penulis yang sudah punya banyak karya. Gue pribadi udah baca beberapa bukunya. Dan so far gaya penulisan, plot, dan konflik yang dibahas sesuai sama apa yang selama ini jadi concern gue. Jadi, nggak sulit buat gue memutuskan beli buku-buku mereka.

Back to the topic, buku ini uniknya hanya dicetak beberapa eksemplar saja. Gue agak lupa, maybe 1000 or 1001? Dan sekali cetak! Jadi kalau kalian mau baca buku ini ya pilihannya cuman satu, pinjam ke orang yang punya buku ini. Ekhem, feel special bgt dong gue? 'Stop lo bukan twice, jadi nggak usah ngrasa special!' hehe :D 

Udah lah nggak usah banyak cakap lagi, langsung aja gue jelasin poin-poin penting dari buku ini, check this out!

Review Buku Malang Untold Story by Windy Joana H. & Tenderlova
Sinopsis Malang Untold Story by Windy Joana H. & Tenderlova

Let's Talk About This Book!

1. Karena genre bukunya adalah romance chicklit, maka tema percintaan dan kisah wanita muda dengan segala permasalahan hidup akan menjadi fokus utamanya. Di samping itu tema berkaitan dengan persahabatan dan keluarga pun tak luput dari perhatian penulis.

2. Buku ini menggunakan alur campuran. Tapi mostly penulis menggunakan alur maju. Alur mundur hanya digunakan sesekali untuk memperjelas sebuah kejadian. Misalnya, kisah Linara saat pertama kali memutuskan untuk datang ke Kota Malang (Hlm: 12), atau percakapan antara Wina dan adiknya saat perjalanan dari Malang ke Bandara Juanda (Hlm: 74-76).

3. I love the cover of this book. Gue jadi paham kalau di pameran ada yang bilang, 'gambar itu bisa berbicara'. Yaaa... itu yang gue rasakan saat melihat cover buku ini. So beautiful and meaningful. 

Gue jadi bisa nebak, yang mana Linara dan yang mana Wina. Then, gue jadi paham kenapa wajah Wina ada topeng dan labelnya. Label itu bertujuan memberi informasi tentang hal-hal yang kasat mata atau tak diketahui secara fisik oleh orang awam. Kalau di label harga, berarti kita berbicara tentang konsumen dan produknya. Tapi di kasus Wina, kita bisa tau di balik label tangguh dan berdayanya dia di mata orang-orang, ternyata dia tetaplah wanita yang hatinya bisa rapuh juga.

Gue pun semakin yakin yang mana Linara karena gambarnya dibuat separuh underexposedHal itu bukan hanya karena terletak di perpotongan buku, tapi berdasarkan kisah hidupnya Linara pun sangat sesuai. Linara dikisahkan punya masa lalu yang kelam. So, untuk  menjelaskan itu, ilustrator menggunakan filter foto yang biasa kita kenal sebagai filter monokrom.

Yang tak luput dari pandangan, pintu bertuliskan 'exit' bisa menjelaskan bagaimana kisah di buku ini nantinya akan berakhir. Buah apel di antara ketiganya tak ketinggalan turut menjelaskan bahwa latar kisahnya terjadi di Malang.

4. Di buku ini, gue bisa melihat jelas perbedaan persahabatan antara pria dengan pria, wanita dengan wanita, dan pria dengan wanita. Ketiganya bedaaaa banget! Nggak salah kalau banyak yang bilang persahabatan antara pria dan wanita itu jarang ada yang pure. Kayak, pasti salah satunya ada yang menyimpan rasa. Kalau kata Denis sih gini, 

Kayak gue sama Niko? Elo nggak ngerangkul kita erat, maksa manggil elo mas, elo nggak ngubek rambut kita karena gemes, elo nggak suap-suapan sama kita, nyet! Dan yang paling penting, elo nggak pernah gombalin gue sama Niko! Ya wajar Wina merasa beda." (Hlm: 244) 

5. Narasi dan diksinya indah. Ada banyak perumpamaan, peribahasa, atau pepatah yang mereka tuangkan dalam buku ini. Misalnya, "kamu langit yg bersih sementara aku adalah bumi yg menua." (Hlm: 53)

6. Jujur, ini kan penulisnya ada dua, tapi gue nggak ngrasa ada dua penulis. Jadi ceritanya lebur aja gitu jadi satu. Which is a good thing.

7. Gue suka ketika penulis menceritakan kehidupan tokoh dengan pekerjaan mereka masing-masing. Meskipun tidak dijelaskan secara detail, tapi paling tidak ceritanya jadi semakin hidup dan relateable.

8. Gue selalu suka sama buku yang ada daftar isinya. Menurut gue, bisa memudahkan pembaca kalau kangen momen-momen tertentu yang ada di buku itu. 

9. Sejujurnya banyak adegan yang menurut gue so dramatic. Mungkin karena di circle gue nggak ada yang begitu jadinya dari perspektif gue kesannya drama banget. Misalnya, saat Mahendra menolong Linara di Chapter. Satu Meja yang Sama, atau saat Linara membuang kado untuk Mahendra di Chapter. Perasaan yang Membiru. But, it's okay namanya juga fiksi, kan taglinenya aja 'mengadakan yang tidak ada'. Tapi kalau dari perspektif orang lain mungkin aja banyak yang punya kejadian serupa? hehe :D

10. Typo as always masih ada. Terus ada kalimat yang harusnya belum di spasi tapi udah kena spasi alias ganti paragraf. Sangat disayangkan, tapi yaudah... lagian sekali cetak doang.

11. Bahasa daerahnya harusnya diberi keterangan lanjutan.

12. Sama ini sih, sikapnya Mahen waktu kenalan sama Linara menurut gue agak membingungkan. I mean gini, karena dia suka sama Linara, setiap kali berdekatan sama wanita yang dia suka akhirnya kan dia kehilangan topik pembicaraan gitu. Tapi, justru dia tuh berani buat peluk, cium kening (meskipun sandiwara), pokoknya yang physical touch gitu. Awalnya gue pikir emang itu love languagenya. Tapi kok jadi nggak make sense aja gitu sama keterangan dia yang bilang canggung setiap kali dekat wanita yang dia suka. 

Kayak gini nih ibaratnya, lo suka sama orang, ngomong berdua nyari topik aja kagak nemu, intinya canggung banget. Tapi lo bisa nglakuin sesuatu yang lebih dari itu, kontak fisik misalnya, di tengah kecanggungan pula. Menurut gue kayak crossed the line aja gitu lho. Emang lo kagak kepikiran, ntar gue didamprat gimana ya kalau gue peluk dia? Or dia ilfeel nggak ya kalau gue cium dia? Even tho misalnya mau pakai alasan untuk menenangkan misalnya, itu pun pasti ijin dulu kan? Nggak tiba-tiba ada kontak fisik juga.

Kalau sama Wina ada kontak fisik wajar, selain karena udah melabeli hubungan mereka sebagai teman, Wina juga biasa kontak fisik duluan, misalnya minjem bahu atau mukul gemas si Mahendra. Jadi kayak gue tuh pas baca rada bingungnya tuh di situ. So, gue akhirnya punya kesimpulan atas kebingungan gue. Mahen ini beneran nggak pernah kenalan sama wanita sih sebelumnya hehe :D  
 

The Memorable Lesson

Gue menemukan beberapa pembelajaran dari buku ini, terutama tentang kita dan diri kita sendiri.

a. Kenapa kita merasa kosong atau hampa?
Hampa merupakan suatu kondisi di mana diri kita merasa nggak terhubung dengan orang lain. Hal itu membuat kita mati rasa. Sulit membedakan antara senang dan sedih, punya harapan tapi terlampau bingung dengan keadaan yang terjadi, pun merasa puas di beberapa hal namun nyatanya terlalu ragu dengan apa yang jiwanya mau. Beberapa keadaan itulah yang dialami Wina, sang tokoh utama.

Apa penyebab seseorang bisa merasa hampa? Dalam kasusnya Wina, Ia belum sepenuhnya paham tentang dirinya sendiri, semuanya masih terasa abu-abu. Bisa jadi, penyebab lain kehampaan yang Ia alami adalah karena jauh dari keluarga. Menurut gue, ibunya punya peranan penting dalam hal ini. Ketika dia jauh dari ibunya, sosok penting itu seakan-akan ikut menghilang. Karena pada dasarnya, seseorang yang merasa hampa sebenarnya sedang ingin diperhatikan, di mengerti, dan didengarkan agar tidak merasa sendirian. Wina membutuhkan kualitas yang utuh bersama orang-orang yang dia sayang. Dan ibunya adalah rumah, tempat pulang ternyaman yang bisa menghilangkan rasa hampanya itu.

Menurut Tim Hipgrave, Nuffield Health Emotional Health Lead, ada beberapa cara mengatasi rasa hampa ini. Pertama, pahami diri mengapa merasa hampa. Kenali diri kita jauh lebih dalam dari sebelumnya. Kedua, bercerita dengan orang lain. Nah, hadirnya Mahendra secara tidak sadar membuka ruang obrolan tentang kehidupannya. Pada awalnya gue pikir Linara akan jadi tempat curhat paling nyaman buat dia. Tapi setelah baca bukunya, ternyata bukan Linara orangnya. Wina tidak pernah membicarakan masalah pribadinya pada sahabatnya itu.

Cara terakhir adalah rutin berolahraga dan mencari kesibukan. Wina udah nglakuin hal ini kok, hehe. Dia naik gunung kayak gitu udah termasuk cara mengatasi rasa hampa yang dia alami. Dia bahagia bisa mendaki, berpetualang, dan membangun koneksi dengan alam. Ya kalau dia bilang hidupnya kayak lagunya Taylor Swift, gue setuju, "yeah, we're happy, free, confused, lonely at the same time." ðŸ˜€

b. Bukankah dunia ini tidak untuk orang-orang lemah sepertiku?
Linara bukan hanya mengalami rasa hampa, namun juga mengalami hopelessness. Dalam konsep psikologi, hopelessness lebih dikenal dengan sebutan "Learned Helplessness," yaitu perasaan pasrah atau tidak berdaya yang kemunculannya dipicu oleh kejadian buruk yang seolah-olah tidak bisa dikontrol dan dialami oleh seseorang secara berulang.

Profesor Anthony Scioli dan Henry B. Biller, dalam bukunya berjudul 'Hope in the Age of Anxiety' menyebutkan bahwa, hopelessness (keputusasaan) ini terbagi menjadi 9 jenis yaitu, alienation (keterasingan), forsakenness (pengabaian), lack of inspiration (kurangnya inspirasi), powerlessness (tidak punya kekuatan), oppression (penindasan), limitedness (keterbatasan), doom (kemalangan), captivity (penahanan), dan helplessness (ketidakberdayaan).

Pemetaan jenis-jenis hopelessness dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan penanganan. Jadi, s'tiap jenis hopelessless itu penanganannya berbeda-beda. Dan akan menjadi sama penanganannya apabila sudah masuk tahap yang serius atau perlu bantuan dari seorang ahli, misalnya sampai harus mendapat cognitive behavioral therapy (CBT) agar menjadi lebih optimis. Kalau Linara, menurut dari apa yang gue pahami masuk di area pengabaian dan kemalangan. Namun, keputusasaan yang dia alami masih bisa ditangani bahkan tanpa bantuan seorang ahli.

Keputusasaan jenis pengabaian ini berasal dari perasaan bahwa seseorang telah meninggalkannya saat dirinya benar-benar butuh untuk didampingi. Hal itu menimbulkan asumsi bahwa kemungkinan besar kehadirannya ditolak, merasa distigmatisasi (tidak dapat dipercaya), sehingga membuatnya tidak mudah menaruh percaya pada orang lain dan lingkungan. See... kita tahu kalau Linara besar dari keluarga yang tidak baik-baik saja. Bukan asumsi belaka, kehadirannya nyatanya tidak diterima bahkan oleh orang yang dia labeli sebagai Ayah. Luka masa lalu itu membuat dia bisa merasakan perasaan putus asa ini.

Cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan mencari penyebab rasa putus asa itu, jujur pada diri sendiri, maknai apapun yang dirasakan. Selanjutnya bisa dengan self-healing, menyibukkan diri dengan apapun yang disukai. Misalnya Linara adalah 'berkebun people', so ya dia bisa melakukan hal itu untuk membuat perasaannya jauh lebih tenang dan pikirannya bisa jauh lebih positif. Selanjutnya, berbuat kebaikan. Cara ini ampuh untuk menambah energi positif dalam diri seseorang. Sesederhana senyum untuk orang lain. Terakhir, lepaskan kesedihan masa lalu. Dan berpikir bahwa kejadian serupa nyatanya banyak menimpa manusia lainnya, bukan hanya dirinya.

Selanjutnya, keputusasaan jenis kemalangan ini berkaitan dengan pemikiran negatif yang terbentuk karena peristiwa terakhir yang dialaminya. Linara punya trauma pengkhianatan dari seseorang yang Ia cintai sebelumnya. Lantas, hal itu membuatnya merasa kalau pengkhianatan itu akan terus menimpanya. Dalam kasus yang lebih besar, kejadian serupa bisa menyebabkan fobia tertentu. Fobia ini biasa dikenal sebagai pistanthrophobia. Pistanthrophobia adalah rasa takut mempercayai orang lain disebabkan oleh kekecewaan serius atau akhir yang menyakitkan dari hubungan sebelumnya.

Cara pertama untuk mengatasi hal ini, as always dengan mencari tau penyebab keputusasaan itu. Selanjutnya, mulai lakukan pengubahan explanatory style. Explanatory style ini adalah cara seseorang menjelaskan suatu peristiwa ke dirinya sendiri. Misalnya, setiap kejadian buruk yang terjadi, belum tentu 100% adalah kesalahannya, melainkan ada banyak faktor eksternal yang kemungkinan juga bisa menjadi sebab. Selain itu, mencoba berpikir bahwa kejadian buruk yang dialami bukan sesuatu yang sifatnya permanen. Dan perlu dipahami juga, kalau kita sebagai manusia, tidak pernah bisa mengontrol semua kejadian, "believing you either have no all control over what happens to you and others."

c. Attention is the most basic form of love - John Tarrant

Facial Claim


___

Jadi segitu aja review dari gue. Jujur ya gue ngrasa exhausted banget nge-review buku ini. Bukan karena ceritanya nggak menarik, tapi ngomongin mental tuh memang bikin energi terserap jauh lebih banyak gitu. But, akhirnya selesai juga reviewnya, meskipun ada beberapa hal yang sengaja nggak gue bahas karena porsi ceritanya di buku dikit banget, misalnya tentang panic attack atau marriage preparation. Oh iya, the last but not least, kalau ada salah-salah kata gue mohon maaf. Dan misal ada informasi yang tidak sesuai boleh banget didiskusikan di kolom komentar.
See ya....!

Bonus,

0 Comments

About | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer | Sitemap