Source: Kapanlagi.com |
Sekali lagi kudengar warta masygul kepergian.
Pemilik mata bulat berkilat itu kembali ke haribaan.
Tak pelak jiwa-jiwa pilu turut merasa kehilangan.
Sang visioner, pemikir sejati yang citanya sampai dua
puluh tahun ke depan.
Bukan lagi meccano dan kayu balsa yang diperhitungkan.
Dari Aachen mulai menyambung imajinasi Leonardo da Vinci dan
inisiatif Wright bersaudara disempurnakan.
Ide besar rencana pembangunan Indonesia digaungkan bersama
teman seperjuangan.
Hidup terbatas tak goyahkan derap kaki capai impian.
Hingga tubuh tak lagi kuat berdiri tegap, sampai di ujung kematian.
Tuntas ilmu didapatkan, karir cemerlang penuh kemudahan
menggiurkan.
Tapi, tak ragu lepaskan jabatan mendengar penguasa tirani di
tanah kelahiran.
Panggilan jiwa yang tak pernah dianggap salah, demi
sebuah pengabdian.
Sayang, mimpi terhahan akibat klausul penghentian dana
pengembangan.
Kekecewaan bertumpuk sekalipun tak menghilangkan cinta
negeri dan kebangsaan.
Apa yang hendak dicari? Bukan kaya diri, pujian, apalagi
kemasyhuran.
Bagi negeri semua didedikasikan.
Apa yang kukabarkan adalah pujian dimensi lain dari
kesetiaan.
Sekali lagi kukatakan.
Setianya pada Ainun tak ada
bandingan.
Tapi, cintanya untuk negeri juga tak terbantahkan.
Teruntuk Eyang Habibie yang lebih senang disebut sebagai
pekerja keras yang setia pada cita-cita dan cintanya dibandingkan disebut
jenius. Dan selalu ingin menjadi sumber mata air yang jernih untuk sekitar.
0 Comments