Nikah Kelewat Muda -->

Nikah Kelewat Muda

Nikah Kelewat Muda

Akhir-akhir ini publik seakan terus dihebohkan dengan berita-berita pernikahan yang kurang lazim menurut sebagian orang. Ada nenek-nenek yang menikah dengan lelaki yang seusia cucu atau anaknya, ada pula kakek-kakek yang menikah dengan seorang perempuan yang masih sangat muda.

Dan yang ga kalah hebohnya, pernikahan anak yang dipandang masih di bawah umur, yakni usia di bawah 15 tahun. Sebenernya, ini bukan fenomena baru di Indonesia. Di Sulawesi dan Kalimantan misalnya, setidaknya 1 dari 3 anak perempuan menikah di bawah umur. Hal tersebut dipicu oleh banyak hal, misal sosial budaya dan keadaan ekonomi.

Pernikahan di usia yang terbilang muda ini jelas menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Ada pula yang mempertanyakan sebenernya bagaimana agama, khususnya Islam, memandang hal ini.

Dalam Islam memang tidak ada batasan usia minimal dan maksimal untuk menikah (nih ya, yang sampe sekarang belum menikah meskipun udah berumur, santai aja. Hehe). Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit atau tersirat, Islam mengatur bahwa orang yang menikah adalah orang yang benar-benar sudah siap secara psikis dan fisik. Dan penting untuk mengerti tujuan dari pernikahan.

Kalau ada yang tanya, lalu kenapa Nabi Muhammad menikahi Aisyah yang saat itu masih sangat belia (btw, ada kontroversi juga tentang berapa usia Aisyah sesungguhnya ketika dinikahi Nabi...ya Wallahu a’lam). Tentu saja apa yang dilakukan Nabi Muhammad tidak serta merta harus kita tirukan dengan dalih sunnah Rasul. Pada Nabi Muhammad ada kekhususan, dan jelas Nabi punya alasan tertentu.

Oke. Balik lagi. Itu kalau dari segi Islam, tidak ada batasan usia. Bagaimana dari segi negara/pemerintahan? Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengatur batas usia minimal seseorang bisa menikah. Tentunya, aturan itu dibuat melalui kajian dan pemikiran yang rasional.

Namun, ada sebagian orang yang kurang setuju dan akhirnya memilih menikah secara agama. Menikah secara agama saja tentu boleh. Tapi, balik lagi. Kita tinggal di negara hukum. Jika tidak dicatat di catatan sipil, jelas akan menimbulkan kesulitan. Misal, saat anak hendak sekolah, tidak punya arsip.

Nah, kalau diminta untuk menyoroti pernikahan dedek-dedek yang di Kalimantan itu, saya pribadi sebenernya kurang setuju. Memang secara agama membolehkan dan sah nikahnya. Tapi, di usia yang dua-duanya masih sangat muda, banyak sekali hal yang mungkin bisa membawa ke hal-hal yang kurang bagus.

Can you imagine that? Masih sekolah gitu ya. Tingkatnya masih SMP lagi. Pasti bingung buat bagi waktu untuk belajar, untuk menunaikan kewajiban kepada suami/istri. Itu kan bukan suatu hal yang gampang. Apalagi dengan tingkat kematangan berpikir yang belum sepenuhnya matang (?). Masalah finansial juga. Belum ada penghasilan karena masih sama-sama sekolah.

Terus yang mengganjal lagi adalah bagaimana menunaikan kewajiban sebagai suami istri, dalam artian menunaikan nafkah batin. Pelajaran biologinya aja belum kelar, dik -__-
Hmmm....kalau temen-temen baca, banyak sekali penyakit ataupun masalah kehamilan pada seorang yang berusia belasan tahun.

Dan lagi, alasan pernikahannya itu sangat polos. Kalau sekadar takut tidur sendirian atau karena si anak lelaki suka curi-curi waktu buat ketemu si anak perempuan di malam hari, saya rasa bukan alasan untuk orang tua dengan mudahnya menikahkan anak-anak mereka. I mean, nikah bukan satu-satunya jalan untuk mengatasi hal tersebut.


Menurut saya, hal yang bisa dilakukan adalah:

  1. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mencegah praktik pernikahan anak. Misal dengan menaikkan angka batas minimum seseorang bisa menikah. 
  2. Alihkan perhatian anak ke hal lain yang lebih positif (bukan artinya nikah itu negatif ya hehe), sehingga ingatan/pikiran tentang ‘go nikah go’ itu memudar, khususnya di usia anak yang masih sekolah. Trus, akses pendidikan juga harus dibenerin. Sosialisasi ke daerah-daerah yang masih menganggap sekolah itu tidak penting.
  3. Harus ada edukasi untuk masyarakat juga. Terutama di daerah-daerah yang angka pernikahan usia dininya masih tinggi. Bukan serta merta untuk menghindari perzinahan, lalu anaknya ‘yaudahlah’ suruh nikah aja.
  4. Perlu memahami lagi apa tujuan dari pernikahan (pemahaman agama perlu ditingkatkan). Seperti yang selalu saya bilang, bahwa menikah bukan hanya perkara pemenuhan biologis seseorang. Tapi, lebih dari itu. Pernikahan itu sebagian dari ibadah, dan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah. Jadi, selain kesiapan umur, juga butuh kesiapan psikologis, ekonomis, dan lain-lain.

Semoga kondisi ekonomi masyarakat semakin baik sehingga ga ada lagi alasan menikahkan anaknya karena faktor ekonomi. Trus, ga ada lagi alasan menikahkan anak karena takut si anak berzina. No!

0 Comments

About | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer | Sitemap