Panduan Memahami Toxic Masculinity, Waham yang Merugikan Laki-laki dan Perempuan -->

Panduan Memahami Toxic Masculinity, Waham yang Merugikan Laki-laki dan Perempuan

Memahami toxic masculinity
Foto presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt semasa balita pada 1884 (Source: Wikimedia Commons)


Bagi penonton channel YouTube Deddy Corbuzier, pasti sudah tahu beberapa waktu lalu Om Deddy mengundang Ivan Gunawan ke acaranya. Video yang ditonton jutaan orang itu langsung menjadi trending topic di Twitter. Penyebabnya, Ivan Gunawan melontarkan kata-kata yang dianggap sudah melunturkan toxic masculinity yang ada selama ini.

Sebenarnya apa sih toxic masculinity? Sebelum menjawab itu, kalian pasti pernah mendengar kata maskulin dan feminin. Maskulin diidentikkan dengan bagaimana seseorang bersikap rasional, berani, tangguh, kuat, dan mendominasi. Sedangkan feminin diidentikkan dengan sifat penyayang, sabar, keibuan, dan pesolek.

Sebetulnya setiap manusia mempunyai kedua sisi tersebut, maskulin dan feminin. Tapi, sering kali maskulin dan feminin ini dipisahkan dan dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.

Seperti yang dikatakan Ivan Gunawan di podcast Om Deddy tersebut, kadang orang terlalu mengotak-ngotakkan antara perempuan dan laki-laki berikut karakter yang melekat padanya. Laki-laki dianggap hanya memiliki sisi maskulin dan perempuan hanya memiliki sisi feminin. Padahal kita semua punya kedua sisi itu dalam kadar berbeda-beda.

Tanpa disadari, sebenarnya praktik mengotak-ngotakkan ini sudah terjadi semenjak kita masih kecil. Laki-laki dipilihkan warna biru, sedangkan perempuan dipilihkan warna merah muda ketika masih bayi. Akhirnya sampai dewasa, laki-laki dan perempuan jadi punya warna khusus yang seolah tidak boleh dilanggar.

Perempuan yang memakai warna-warna bold, dikritik dan disuruh memakai warna-warna cerah supaya lebih menunjukkan identitas keperempuanannya. Begitu juga dengan laki-laki, kalau ada yang memakai baju warna merah muda, auto dikata-katain.

Padahal pengotak-kotakan itu adalah hal baru. Dalam kasus warna identik gender saja misalnya, sebelum Perang Dunia I, justru warna merah mudalah yang lebih sering digunakan untuk anak laki-laki, sedangkan biru untuk anak perempuan. Mengenai pakaian laki-laki pun, di sejumlah kebudayaan, sampai saat ini masih ada para pria yang memakai tunik, terusan mirip daster itu. Ini belum bicara banyak contoh lain, seperti penggunaan riasan pada laki-laki.

Pengotak-kotakan diikuti “disiplin gender” ini diteruskan pada penertiban perilaku. Gue masih inget banget, sewaktu kecil kalau gue bermain bola dan memanjat pohon bersama sepupu, selalu ada orang yang mengatakan, “Anak perempuan kok kayak begitu tingkahnya.”

Bermain bola, layangan, dan memanjat pohon menjadi wilayah terlarang bagi anak perempuan. Tapi anak laki-laki juga ditabukan memainkan boneka dan masak-masakan.

Kalau kalian ingat, beberapa waktu lalu ada kejadian yang ramai banget di twitter. Jadi, ada seorang ibu yang membuang peralatan merajut anak lelakinya. Oleh si ibu, merajut dianggap kegiatan atau permainan anak perempuan. Ibu itu ingin anaknya bermain bola dan layangan seperti anak laki-laki pada umumnya.

Padahal, menjahit, menyulam, merajut, dan merias bukanlah pekerjaan khusus perempuan. Banyak juga penjahit, desainer, dan pemasak laki-laki yang hebat dan sangat passionate dalam berkarya. Jangan jauh-jauh ke situ deh, Nabi Muhammad aja mau dan mampu menjahit serta menambal pakaiannya sendiri.

Bukan hanya itu, olahraga pun dikotak-kotakkan. Kalau kalian mendengarkan podcast Om Deddy, beliau sempat bilang bahwa olahraga cardio dan squat itu dilakukan oleh perempuan. Sama seperti jawaban Ivan Gunawan, gue juga bakalan bilang, “Terus kenapa kalau laki-laki cardio dan squat?” Harusnya kan nggak masalah mau olahraga apa aja.

Praktik mengotak-ngotakkan itulah yang secara tidak langsung semakin melanggengkan toxic masculinity. Orang-orang jadi punya pandangan dan ekspektasi tertentu terhadap laki-laki. Mereka punya standar tertentu untuk mengklasifikasikan seorang laki-laki itu sejati atau tidak melalui pandangan serta hal-hal yang ia rasakan dan lakukan.

Dalam waham toxic masculinity, laki-laki diharuskan menjadi superior dan dominan, sedangkan perempuan sebaliknya. Laki-laki tidak bisa mengekspresikan perasaannya karena dituntut untuk selalu terlihat kuat dan tangguh. Sedari kecil laki-laki dididik untuk tidak mengekspresikan perasaannya secara gamblang. Kalian pasti sering mendengar kalimat ini, “Laki-laki kok nangis. Laki-laki tuh nggak boleh cengeng!”

Padahal, menangis itu proses alamiah dan manusiawi buanget. Orang kalau sedih, terharu ya bisa aja mengeluarkan air mata. Tidak selamanya orang itu bisa tangguh dan mampu menghadapi masalahnya sendirian. Nggak hanya perempuan, laki-laki pun boleh bercerita dan mengekspresikan kegalauannya. It’s OK to be vulnerable. Nggak apa-apa menunjukkan kalau kalian sedang nggak baik-baik saja atau sedang ambyar sekalipun.

Hmmm… tetiba saya pengin berterima kasih ke Om Didi Kempot karena telah menciptakan lirik-lirik lagu yang mendobrak toxic masculinity. Masyarakat perlu tahu bahwa laki-laki juga bisa rapuh dan menangis.

Yang lebih berbahaya, terkadang untuk mencapai standar yang dibuat masyarakat dan circle terdekatnya, banyak dari mereka yang akhirnya berperilaku tidak baik. Contohnya gini, dalam satu tongkrongan kalau mau dibilang laki-laki harus berani berkelahi dan melakukan sexual harassment ke perempuan. Kalau dari mereka ada yang nggak memenuhi standar tersebut, langsung dibilang nggak jantan alias “kurang laki” sama teman satu gengnya. Seolah-olah lelaki itu harus punya karakter kasar dan agresif dulu baru bisa dibilang lelaki sejati.

Pemikiran sempit terkait kejantanan itulah yang disebut toxic masculinity. Laki-laki dinilai sebagai sosok yang harus selalu kuat, tangguh, realistis, bahkan kasar, sedangkan perempuan sebaliknya.

Perempuan dan laki-laki menjadi semakin terkotak-kotak di berbagai bidang yang seharusnya bisa dilakukan oleh semua orang. Padahal, feminin dan maskulinitas bukan sesuatu yang berdiri sendiri, bahkan akan berdampak positif jika keduanya digabungkan.

Sandra Bem, seorang psikolog asal Amerika, melalui penelitiannya menemukan bahwa orang yang menggabungkan sisi maskulin dan feminin secara positif akan lebih fleksibel, kompeten, dan sehat secara mental.

Senada dengan hal tersebut, dilansir dari chopra.com, menyeimbangkan sisi maskulin dan feminin adalah kunci untuk menjadi lebih bahagia, sehat mental, dan paham tentang apa pun yang kita lakukan berikut risikonya secara mendalam.

Dengan mulai memahami dan menyeimbangkan antara sisi maskulin dan feminin yang ada pada diri kita, tentunya akan berdampak pada berkurangnya toxic masculinity. Dan menurut gue, salah satu langkah awal yang bisa diterapkan adalah dengan tidak mengotak-ngotakkan hal-hal yang seharusnya genderless sejak kecil. Jangan sampai hal tersebut justru membatasi ruang gerak masing-masing dan menjadi sesuatu yang terlampau kaku.



*Tulisan ini pernah terbit di terminal mojok.co. Gue publish ulang di sini dengan sedikit perubahan ✌

6 Comments

  1. Saya jadi salah satu korban toxic masculinity, dan mungkin mbak juga. Yang aku alami, waktu kecil jadi tomboy, lalu dikritik ibu gini "perempuan kok kayak laki-laki". Dan hasilnya, semua baju dibeli model dress dan girly.

    Sekarang? Udah lebih fleksibel untungnya. Apalagi model baju hijab bisa gaya maskulin dan feminim.

    Mungkin ada lagi bentuk-bentuk toxic masculinity, misalnya pilihan jurusan dan karir. Pilih jurusan Teknik Geologi misalnya, pilihan pekerjaan bisa aja jadi ahli geologi, peneliti, fotografer, dll. Salah satu saudaraku ngasih tau untuk ga milih jurusan itu for the sake of itu kerja lapangan dan perempuan won't strong with it. Aneh sih, sampe ditelpon gitu.

    Kalau mbak gimana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, toxic femininity memang nyata adanya. Wkwk...

      Kalau menurutku, batasannya lebih ke fisik sih. Misalnya, kalau ada perempuan yang nggak bisa angkat galon, ya karena dia nggak kuat. Bukan karena dia perempuan.

      Sama halnya dengan jurusan itu tadi. Kalau nggak ada batasan gender, ya kenapa harus risau. Yang tau kemampuan diri kan kita sendiri, bukan orang lain.

      Btw, salam kenal ya! 😊

      Delete
  2. Yang banyak menimpa kaum perempuan=toxic femininity, begitu ya.

    Tampaknya dibahas juga di artikel ini tapi tidak masuk ke judul. Betulkah pendapat saya ini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo! Salam kenal, Mbak Diah 😊

      Betul, toxic femininity menempatkan perempuan sebagai korban.
      Toxic femininity itu gampangnya standardisasi perilaku yang ada pada perempuan. Contohnya, perempuan itu harus jago masak dan mengerjakan pekerjaan domestik lainnya. Lalu, perempuan harus ramah dan anggun, perempuan selalu benar, perempuan nggak usah sekolah tinggi-tinggi, perempuan itu nggak bisa rasional, dan lain sebagainya. Padahal kan nggak kayak gitu juga.

      Nah, yang saya tulis di atas adalah cerita mengapa bisa terjadi toxic masculinity. Karena sedari kecil kita terbiasa dikotak-dikotakkan. Jadi, sebetulnya arah pembahasannya memang lebih ke toxic masculinity dan penyebabnya. Perilaku perempuan yang disebutkan di artikel itu sebagai perbandingan saja, untuk menguatkan argumen saya.

      Delete
  3. Wah keren banget tulisannya, ternyata sempet publish di mojok.co

    Jujur kemarin waktu nonton video deddy corbuzier yang sama ivan gunawan itu, aku lega banget loh sama jawaban ivan. Disisi lain ngakak juga siii waktu dia bilang "EH LO JUGA PAKE EYELINER KALI DULU" hahaha tapi disisi lain bilang "mampus ded! dasar pengkotak2 cewek dan cowok".

    “Anak perempuan kok kayak begitu tingkahnya.”
    Aku juga merasakan omongan tetangga yang kayak gini, dulu sukanya main disawah, main layangan, naik naik pohon ambil cerry, main perang-perangan, ikut main bola, ikut temen cowo main PS. Kalo di inget2, ternyata itu kenangan indah dimana sekarang belum tentu ada anak anak masih bisa main se-bebas itu.

    Ponakan sama anak kecil di desa sekarang bahkan kenalnya sama mainan hp dan digital.

    Pas udah gede, kerasa banget kalo emang kita butuh fleksibel. Selama ngekos ngangkat galon ke lantai 3 juga angkat sendiri. Nggak ada ceritanya angkat galon harus cowo. Hahhaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget! Dasarnya Igun ceplas-ceplos, jadi ya nggak sungkan aja buat bilang gitu ke Om Deddy 😂

      Nah, masalah galon ini sering banget dibahas. Menurutku, batasannya fisik aja sih. Kalau emang bisa dan kuat, ya kenapa nggak. Kalau emang nggak kuat, ya nggak apa-apa minta tolong. Kan fisik perempuan juga beda-beda ya.

      Banyak banget laki-laki yang bilang, "Yaudah kalau penginnya setara, ya nggak usah minta duduk kalau lagi di transportasi umum". Lah, menurutku sah-sah aja, asalkan dia tidak menggunakan identitas keperempuanannya untuk mendapat tempat duduk itu. Kan bisa aja emang si perempuan itu fisiknya nggak kuat, atau emang lagi sakit, atau lagi nyeri haid yang beneran parah.
      Buat yang kayak-kayak gini emang harus dipertajam sih kepekaannya. Kadang, orang nggak bener-bener bisa ngerti karena nggak pernah berada di posisi orang yang merasakan kesakitan.

      Btw, salam kenal ya! 😊

      Delete

About | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer | Sitemap